International Seminar “Improving the rule of art and literature as a medium of character education for children”
Wednesday, December 17 2014
Karawitan Laboratory, Yogyakarta State University
Rabu, 17 Desember 2014, saya rela membolos tiga mata kuliah demi mengikuti seminar internasional yang bertajuk “improving the rule of art and literature as a medium of character education for children”. Singkatnya, seminar tersebut mengangkat tema tentang seni dan sastra anak. Pembicara pada seminar tersebut sangat istimewa. Ada dua alumnus UNY (masing-masing jurusan sastra inggris dan pendidikan seni rupa) yang kini melanjutkan pendidikan masternya di UGM. Mereka adalah mbak Dayu dan Mas Bayu Tejo. Selain itu, ada Ibu Dr. Katrin Bundel yang berasal dari Jerman dan yang paling istimewa adalah om ganteng Dik Doank.
Nah, dengan mengikuti seminar, tentu saja ada ilmu dan pengetahuan tambahan yang diperoleh. di bawah ini adalah apa yang saya dapatkan setelah mengikuti seminar. Semoga bermanfaat dan menambah ilmu serta pengetahuan.
Pembicara 1: mbak Dayu
Mbak Dayu memberikan materi mengenai sastra anak. Secara umum fungsi sastra anak ada dua yaitu fungsi hiburan dan fungsi pendidikan. Semua anak pasti pernah mendengar dongeng atau cerita pengantar tidur dari ayah ibunya. Tapi, tanpa disadari, dongeng tersebut telah terdoktrin oleh beberapa hal. Misalnya saja, putri selalu cantik, pangeran selalu tampan, ibu tiri selalu jahat. Atau dengan ending yang berbunyi “Finally. The princess and the prince life happily ever after (pada akhirnya, putri dan pengeran hidup bahagia selama-lamanya)”.
Adakah masalah jika dongeng tersebut sudah terdoktin dengan beberapa hal tadi? Apakah berpengaruh pada anak-anak? Toh anak-anak hanya mendengar saja, mereka tidak akan berpikir luas.
Tentu saja berpengaruh. Anak-anak memang hanya mendengarkan dongeng tersebut. Mereka memang tidak berpikir luas apalagi berpikir secara filosofis. Namun, dunia anak-anak adalah dunia yang penuh dengan imajinasi dan kreativitas. Kadang orang lupa bahwa anak-anak jauh lebih kreatif daripada orang dewasa. Anak-anak mempunyai rasa ingin tahu (curiosity) yang tinggi. Jika mereka banyak mendengar dongeng atau cerita yang sudah terdoktrin tadi, mereka akan kehilangan sifat kritis dan kreativitasnya. Mereka akan selalu berpikir bahwa putri selalu cantik, pangeran selalu tampam, ibu tiri selalu jahat dan sebagainya.
Untungnya, sekarang ini ada dongeng atau cerita yang dikemas menjadi animasi atau kartun yang tidak terdoktrin dengan hal-hal tadi. Misalnya saja animasi “Sherk”. Di dalamnya ditampilkan bahwa pangerannya tidak tampan dan putrinya tidak tampan. Dengan contoh tersebut, anak-anak dapat berpikir secara luas. Mereka akan paham bahwa putri yang baik tidak selalu baik, putri yang cantik bisa saja mempunyai kekurangan atau ibu tiri yang jahat tidak sepenuhnya jahat.
Kesimpulannya, sebelum memberikan dongeng kepada anak-anak, ada baiknya kita yang dewasa memilah-milahnya terlebih dahulu. Mengapa? Karena, dengan memilah-milah kita bisa tahu mana yang kira-kira cocok untuk anak-anak. Tidak hanya dongeng yang menghibur, tetapi dongeng yang mendidik dan mengajak anak untuk berpikir kreatif dan tanggap (kritis). Dengan menciptakan anak yang kritis berarti kita sedang menciptakan anak yang berkarakter.
Pembicara 2: mas Bayu Tejo
Kalau mbak Dayu menyampaikan materi mengenai sastra anak, mas Bayu Tejo menyampaikan materi mengenai seni di dunia anak-anak. Menurutnya, seni pada anak-anak di masa kini, sudah kehilangan esensinya. Mengapa demikian? Karena saat ini, seni pada anak tidaklagi mengajarkan anak untuk berkreasi, berinovasi, berpikir out of the box dan berekspresi sesuai keinginannya. Padahal seharusnya, seni mengajakan anak untuk melakukan hal-hal tersebut agar mereka terlatih untuk mempunyai jiwa innovator bukan imitator atau copy-paste.
Mas Bayu Tejo, juga tidak setuju dengan sanggar-sanggar menggambar yang saat ini sangat menjamur dan banyak diikuti oleh anak-anak. Tidak ada gunanya masuk sanggar menggambar seperti itu, karena sanggar menggambar itupun juga sudah menghilangkan esensi seni. Di sanggar menggambar, anak-anak diarahkan ke aliran sanggar yaitu aliran dimana hasil karya anak memiliki kemiripan dengan anak lainnya yang ikut dalam sanggar, mulai dari ide, gagasan hingga simbolisasi bentuk dan warna. Di sanggar, anak-anak tidak bisa berimajinasi bebas, mereka dikekang dengan aturan-aturan. Misalnya, bentuk manusia harus seperti ini, daun harus berwarna hijau dan sebagainya. Tentu saja hal itu merusak kreativitas.
Lalu apa yang harus dilakukan agar esensi seni pada anak tidak hilang?
Kembali lagi kepada anak-anak. Kembali lagi kepada anak-anak di sini bukan berarti selama ini anak-anak yang salah. Tetapi guru dan orangtua harus menempatkan dirinya kembali sebagai anak-anak. Selama ini, mayoritas guru atau pembimbing di sanggar menggambar tidak memahami esensi seni anak yang sesungguhnya. Mereka menilai seni anak dengan sudut pandang orang dewasa. Tidak jarang mereka menyalahkan si anak jika si anak tidak menggambar sesuai aturan. Misalnya “Kamu menggambar apa? Seperti benang ruwet.” atau “Ini salah. Daun kok warnanya merah, harusnya kan hijau.”. padahal, jika guru atau pembimbing menempatkan diri mereka sebagai anak-anak dan menilai hasil karya seni mereka dengan sudut pandang anak-anak, mereka akan tahu bahwa saat itu anak sedang mencoba berkreativitas dan berekspresi sesuai keinginannya. Selain itu, jangan berpacu pada doktrin lama. Misalnya saat menggambar pemandangan. Selama ini sering ditemukan gambar dua gunung dengan matahari di atasnya atau dengan sawah dan rumah di bawahnya. Sebagai guru atau pembimbing, harus bisa mengarahkan siswanya untuk berkreativitas dengan luas. Guru juga dituntut untuk kreativ dan jangan mudah puas berada di comfort zone. Cobalah untuk berinovasi.
Guru juga harus paham bahwa seni anak adalah originalitas dari anak-anak dan alat untuk mengeluarkan potensi diri mereka. Jadi jangan batasi seni dengan doktrin-doktrin konyol seperti aliran sanggar seni yang sedang banyak saat ini. Karena sejatinya, seni tidak mengenal doktrin, seni tidak mengenal kata harus dan seni tidak mempunyai batasan. Seni sama dengan berimajinasi dan seni adalah berkreativitas. Guru atau pendamping bukan pengatur, bukan pula pembatas bagi anak-anak dalam berseni. Mereka adalah motivator untuk menjadikan anak betrambah kreativ sehingga nantinya akan muncul generasi innovator bukan generasi imitator (yang hanya bisa meniru dan copy-paste dari karya yang sudah ada).
Pembicara 3: Ibu Dr. Katrin Bundel
Ibu Dr. Katrin Bundel berasal dari Jerman. Beliau datanh ke Indonesia dan tinggal di Yogyakarta sejak 15 tahun yang lalu. Sekarang, beliau mengajar di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pada saat seminar, Ibu Katrin menyampaikan materi tentang sastra remaja. Beliau menceritakan hobi membacanya pada saat remaja. Saat di Jerman, keluarganya tidak mempunyai televisi, jadi, untuk menghibur diri, beliau memilih untuk membaca buku. Menurut beliau, membaca mempunyai banyak definisi, antara lain:
· Membaca adalah menyaksikan dan berimajinasi
Dengan membaca seseorang akan merasa seperti sedang menyaksikan televise atau film. Hanya saja tidak secara langsung, tetapi dengan berimajinasi dan membayangkan. Misalnya, saat seseorang membaca novel Harry Potter, ia akan membayangkan bagaimana tokoh-tokoh dalam novel Harry Potter tersebut, mereka juga akan membayangkan setting tempat dan suasana dalam novel tersebut. Jadi, dengan membaca, seseoran dapat menggunakan imajinasinya dengan maksimal.
· Membaca berarti mengenal diri sendiri
Dengan membaca seseorang dapat mengenal dirinya sendiri. Bagaimana bisa? Tentu saja bisa. Caranya adalah menbaca bacaan yang isi ceritanya mirip atau bahkan sama dengan pengalaman pribadi. Dengan begitu, seseorang dapat intropeksi diri.
· Membaca mengajak seseorang untuk melihat sesuatu yang belum pernah dilihat Misalnya, saat seseorang membaca sebuah cerita yang bersetting di Perancis. Ia akan tahu seperti apa negara Perancis. Dengan kata lain, membaca mengajak seseorang untuk menilik dunia luar.
· Membaca adalah memaknai
Setelah seseorang membaca sebuah cerita, ia akan memaknai nilai apa yang sebenarnya ingin disampaikan dengan cerita itu. Ia akan menyimpulkan pesan moral yang bisa menjadi pelajaran hidup.
· Membaca dapat menemukan dan mengembangkan bahasa untuk mengekspresikan diri
Membaca dapat meningkatkan kemampuan berbahasa. Dengan banyak membaca, akan menambah vocaboulaire sehingga memudahkan seseorang untuk menulis.
Pembicara 4: Dik Doank
Last but not least, pembicara yang terakhir adalah Dik Doank. Para audience diminta untuk memanggilnya om ganteng. Saat beliau menyampaikan materi, para audience tidak diperkenankan untuk menulis atau memegang hand phone. Alasannya, agar para audience dapat berkonsentrasi, fokus dan mendengarkan materi dengan seksama. Dik Doank menyampaikan yang tidak telalu berat dan disisipi dengan hal-hal yang religius.
Hal pertama yang disampaikan adalah ilmu matahari. Sebagai manusia, diharuskan untuk memiliki ilmu matahari. Apa itu ilmu matahari? nah, di sinilah Dik Doank mengajak para audience untuk berpikir filosofis. Ilmu matahari di sini berarti kita harus belajar dari matahari. Matahari bersinar untuk menerangi dirinya sendiri dan untuk menerangi orang lain. Hubungannya dengan manusia adalah, selama manusia hidup, sudah seharusnya manusia berguna untuk diri sendiridan berguna untuk orang lain. Dengan menerapkan ilmu matahari, hidup manusia tidak akan sia-sia.
Hal kedua, Dik Doank bercerita tentang kisah hidupnya. Mulai dari masa sekolahnya, masa saat beliau menjadi penyanyi hingga perjuangannya mendirikan Kandank Jurank Doank.
Kandank Jurank Doank berawal dari keprihatinan Dik Doank akan nasib anak-anak yang tidak mampu untuk mengenyam pendidikan. Sebelum mendirikan Kandank Jurank Doank, Dik Doank ditawari unuk menjadi model iklan. Dengan uang dari iklan yang dibintanginya, beliau mendapat gaji yang cukup besar. Dengan uang tersebut, beliau membeli tanah. Tanah yang dibeli berkontur miring, karena menurut beliau tanah yang berkontur miring, harganya juga miring. Niatnya mendapat dukungan dan cemoohan. Namun, beliau tetap optimis.
Kandank Jurank Doank pertama kali diresmikan oleh Pak Lurah setempat. Sayangnya, baru dua hari diresmikan, bangunan Kandank Jurank Doank ambruk karena angin putting beliung. Dik Doank tidak putus asa, beliau membangun kembali Kandank Jurank Doank dengan optimis. Meskipun banyak penghalang, namun dengan tekad yang kuat, Kandank Jurank Doank menjadi sangat luar biasa seperti sekarang ini.
Dik Doank juga menyampaikan materi tentang pendidikan, khususnya pendidikan bagi anak-anak. Kembali lagi ke Kandank Jurank Doank. Kandank Jurank Doank adalah temapt belajar yang berbeda dari kebanyakan sekolah. Di sana, anak-anak belajar apapun tanpa batas. Itulah mengapa Dik Doank memilih tidak membuat sekolah internasional atau sjenisnya. Beliau berkata “Ki Hajar Dewantara saja membuat Taman Siswa, bukan Sekolah Siswa.”. Jika diresapi dengan baik dan dengan berpikir secara filosofis, makna kalimat tersebut sangatlah bagus. Saya sendiri mengartikan bahwa, saat siswa belajar di sekolah, ia dibatasi dengan sekat berupa dinding kelas. Mereka berada di dalam kelas selama berjam-jam dan tidak bisa leluasa melihat ke luar. Badan mereka saja terbatasi, apalagi pikiran dan imajinasi mereka. Sedangkan, jika siswa belajar di luar misalnya saja di taman. Mereka tidak akan dibatasi oleh apapun. Mereka melihat kemana saja dengan leluasa, tidak ada dinding penyekat yang membatasi. Singkatnya, belajar di sekolah badan terbatasi
apalagi pikiran, belajar di taman (di luar) badan tidak terbatasi, pikiran dapat berkembang dan berimajinasi bebas tanpa batas.
Kalau sekolah dan siswa sudah dibahas. Bagaimana dengan guru? Menurut Dik Doank, jika seseorang berprofesi sebagai guru, jangan pernah sekalipun ia mengabdi kepada orang lain. Ia hanya boleh mengabdi kepada Tuhan. Jika ia mengabdi kepada seseorang, ia akan bertarget pada hal-hal yang sifatnya duniawi. Tapi, jika ia mengabdi kepada Tuhan, ia akan berpikir luas dan tidak hanya memimikrkan hal yang bersifat duniawi.
Selain pendidikan, Dik Doank juga menyinggung masalah seni. Selama ini, banyak orang beranggapan bahwa seni tidak bisa disandingkan dengan agama. Mulai sekarang, ubahlah pemikiran itu. Dengan seni, kita bisa belajar agama. Di Kandank Jurank Doank, anak-anak diminta untuk menggambar setan sesuai imajinasi mereka. Setelah mereka selesai menggambar, mereka diberi penjelasan bahwa setan mempunai sifat yang buruk dan sering menggoda manusia. Agar terhindar dari setan, manusia haruslah rajin beribadah.
Selama menyampaikan materi, Dik Doank berinteraksi dengan ramah kepada audience. Pada akhir materi, Dik Doank mengajak semua audience untuk berdo’a bersama. Sempat terbesit di pikiran saya, jika kita sudah berhasil, jangan samapai kita menjadi pribadi yang sombong, apalagi lupa kepada Tuhan.
Kesimpulan dari empat pembicara pada seminar internasional ini adalah untuk menjadi orang yang berhasil, jangan pernah egois atau mementingkan diri sendiri, hargailah sekecil apapun yang orang lain kerjakan dan yang terpenting setelah berhasil, jangan cepat puas, jangan menjadi pribadi yang sombong, tetapi tetaplah rendah hati dan berbagi. Jangan lupa untuk bersyukur kepada Tuhan, karena sesungguhnya keberahsilan yang kita miliki adalah ujian bagi diri kita.