Jumat, 27 November 2015

Adieu Novembre!



Satu hari di penghujung bulan November. Aku sedang bingung dengan apa yang sedang aku rasakan. Aku ingin menangis tapi air mataku tidak mau keluar. Sepertinya aku sedang merindukan banyak hal.
Ini adalah tulisanku empat tahun lalu. Aku masih duduk di kelas XI MAN Yogyakarta 1. Saat itu, aku senang menulis cerpen. Setelah membaca cerpen ini, mulai hari ini, aku bertekad untuk memulai kembali kesenanganku menulis cerpen.
Happy reading!

Rumah Belanda
Oleh :
Nia Wulandari

Tidak semua orang mempunyai jalan hidup yang sempurna. Terkadang jalan yang terjal dan berbatu juga harus dilalui. Tidak apa-apa, tidak perlu mengeluh. Jalani saja karena semua orang punya jalan hidupnya masing-masing. 

Bermula  ketika  keluarga Rinda mengalami sedikit masalah saat itu. Rinda belum tahu apa-apa, karena Rinda  masih  sangat kecil. Rinda tinggal bersama ayahnya di rumah nenek dan kakeknya, rumah itu adalah bekas rumah Belanda yang dulu digunakan untuk mengungsi saat Indonesia masih dijajah. Rumahnya begitu tua, jendela dan pintunya begitu besar dan tinggi, dindingnya tebal, dan sangat luas. Kamar mandinya begitu besar begitu pula bak mandinya, sumurnya juga begitu dalam dan sedikit gelap.

Rinda tinggal di rumah Belanda itu sejak ia duduk dikelas 1 SD. Setiap ada teman-temannya yang datang untuk bermain, mereka selalu bertanya  
“mengapa pintu dan jendelanya harus rangkap dua sampai tiga bagian?” atau “mengapa pintu dan jendela di rumahmu begitu tinggi?”.
Rinda hanya bisa menjawab “karena rumahku ini rumah Belanda”.
Mereka keheranan,Rinda sendiripun juga keheranan karena ia juga belum mengetahui asal mula rumah Belanda itu, karena  ternyata rumah belanda itu berusia lebih tua dari kakeknya.

Ayah Rinda bekerja sebagai seorang penjaga toko. Setiap hari ayahnya berangkat untuk bekerja, terkadang berangkat pagi dan terkadang berangkat malam. Kalau ayahnya berangkat pada siang hari, ia akan kesepian di rumah. Karena  Rinda sama sekali belum punya teman.

********

Rinda bersekolah di sebuah sekolah dasar yang tidak jauh dari rumah Belanda yang ditinggalinya itu. Jadi untuk menuju ke sekolah ia  cukup berjalan kaki. Namun terkadang jika ayahnya berangkat malam, Rinda akan diantar oleh ayahnya. Rinda belum mempunyai satu temanpun saat hari pertama masuk sekolah dasar. Tetapi kemudian ia bertemu dengan Erna dan Yeni yang ternyata adalah teman TK nya dulu. Rinda tidak mengingat mereka berdua, karena pada saat ia masuk TK di tahun pertama ia harus pindah sehingga teman-teman yang diingatnya pun tidak banyak.
Pada tahun terakhir di kelas 1- model pendidikannya masih memakai model caturwulan-. Di tahun terakhir , Rinda sangat bahagia karena ia mendapat rangking 1 di kelasnya.

Saat pulang ke rumah setelah mengambil rapot
“Rinda bagaimana nilai rapotmu?” Tanya nenek dan kakeknya.
“bagus… aku mendapat rangking 1 dan mendapat hadiah dari bu guru.” Jawabnya senang.
“wah…. Anak  pintar, jangan malas-malas ya supaya besok bisa rangkin 1 lagi” nasihat nenek dan kakeknya. Rinda mengangguk pasti.
Liburan caturwulan sampai satu bulan lamanya, Rinda banyak menghabiskan waktu liburannya untuk menginap di rumah ibunya yang juga tidak begitu jauh, namun harus melewati ringroad. Rinda dijemput ibunya untuk berangkat kesana.

Saat liburan selesai, Rinda kembali lagi ke rumah Belanda itu.
“Rinda, sudah kembali dari menginap di rumah ibumu?” Tanya budhenya.
“iya…” jawabnya polos.

********

Sekolah kembali berjalan seperti biasa. Rinda sudah duduk di kelas 2 SD. Ia sudah mulai bisa mengenal teman-temannya. Ia juga mendapat teman baru yang ternyata tinggal satu desa dengannya. Namanya Anggra. Setiap pulang sekolah mereka sering main bersama. Seperti hari itu, Anggra juga bermain kerumah Belanda yang ditinggali Rinda.
Seperti tanggapan teman-temannya yang lain, ia juga bertanya
“Rinda, mengapa jendela dan pintu di rumahmu begitu besar?” Rinda tersenyum
“haha… kau sama seperti yang lain.” Jawabnya. Anggra tidak tahu apa yang dimaksud Rinda.
“Iya, Tanggapanmu sama seperti yang lain ketika pertama kali mereka datang kesini. Mereka selalu bertanya mengapa pintu dan jendela ini begitu besar, dan aku akan selalu menjawabnya karena ini rumah Belanda” jelasnya panjang lebar.
“ooo.. jadi rumahmu ini peninggalan Belanda?” Tanya Anggra sekali lagi. Rinda mengangguk.
Mereka bermain boneka-bonekaan di sebelah jendela besar rumah Belanda itu. Saat Anggra akan berdiri, tiba-tiba
DUG…..!
“aduh, sakit sekali. Jendela rumahmu ini begitu keras.” Katanya sambil mengelus-elus kepalanya yang terbentur kayu jati dari jundela rumah Belanda itu.
“ya… memang” jawab Rinda. Anggra bukannya menangis, tetapi mereka berdua malah tertawa terbahak-bahak.
Begitu asyiknya mereka bermain, Budhe memanggil Rinda.
“Rinda…..” panggilnya keras-keras.
“iya budhe, ada apa?” Tanya Rinda dengan polosnya.
“kalau sudah selesai makan, piringnya dicuci sendiri. Aku sudah capai mengerjakan pekerjaan rumah yang lain.”
“iya budhe…” jawabnya lirih.
Rinda bergegas memberesi mainannya dan menyuruh Anggra untuk pulang dulu. Dicucilah piring yang teronggok di ember cucian piring dan meletakkannya kembali di rak-rakan tua yang dibuat sendiri oleh kakeknya dari bambu yang diambil dari belakang rumah belandanya.

********

Suatu  pagi yang cerah, seperti biasa Rinda menunggu penjual bubur ayam yang selalu lewat di depan rumahnya. Itu bukan karena ia pemboros, tetapi karena nenek memasak pada siang hari, jadi tak ada makanan yang bisa dimakan untuk mengganjal perutnya sebelum mengikuti pelajaran di sekolah. Terkadang selain makan bubur ayam yang dibelinya pada penjual keliling yang lewat depan rumahnya, ia juga minum segelas susu putih. Ia rutin meminum susu putih itu tiga kali sehari.

Siang begitu terik, Rinda pulang dari sekolah. Ia mengeluarkan sepeda kecilnya dan membawa sepeda itu ke belakang rumah. Ia bersepeda dengan riang. Ketika ia sedang asyik berputar-putar mengelilingi halaman belakang dengan sepedanya ia terjatuh dari sepedanya dan membuat lutunya terluka. Ia ingin menangis, namun air mata yang sudah menumpuk di kelopak mata itu di tahan untuk keluar.

Hari yang berbeda, Rinda sedang menyapu bagian belakang rumah Belandanya. Rinda melakukan itu untuk menghindari makian budhenya yang sering memarahinya. Sapunya bergerak kesana kemari membersihkan tempat-tempat yang kotor.

Esok pagi di hari Jum’at, Rinda berangkat sekolah seorang diri. Bapaknya sudah berganti pekerjaan menjadi seorang satpam di perumahan yang tidak jauh dari desanya. Kebetulan hari ini bapaknya berangkat pagi, jadi tidak bisa mengantar Rinda ke sekolah. Di sekolahnya dia sering dinakali oleh temannya yang bernama Bayu. Anak itu sering mengejeknya, mengompasinya, dan memukulinya. Saat pulang sekolah tiba, Rinda dan Anggra berjalan pulang berdua, menyusuri jalanan desa yang di tepinya masih ada sungai kecil dan ladang tebu. Hari ini kebetulan ladang tebu itu sedang dirombak. Rinda dan Anggra sering mampir di tempat perombakan tebu itu. Bukan untuk apa-apa, tetapi sering kali mereka mendapatkan tebu dari para pegawai perombak. Saat berjalan menyusuri sungai kecil dan harus menyebranginya, mereka berdua berjalan hati-hati diatas jembatan kecil yang disebut wot. Saat mereka sampai di bagian tengah wot tiba-tiba
Byuuuuur….
Mereka berdua jatuh kedalam sungai sehingga baju seragam, sepatu dan tas merekapun turut basah oleh air sungai.
“hahahahahaha…..” mereka tertawa terbahak-bahak.
“bagaimana tadi kita bisa terjatuh?” Tanya Anggra.
“mungkin jembatan ini tidak kuat menahan beban kita berdua, lagipula kayu dari jambatan itu sudah lapuk” jawab Rinda masih berada di dalam sungai dan mencoba untuk keluar.
“benar juga, kalau begitu kita tidak usah plang dulu. Ayo kita mandi sekalian di sungai yang besar di sebelah utara.” Ajak Anggra
“benar juga, lagipula kita kan sudah basah kuyup”
Mereka berdua berjalan menuju sungai besar di sebelah utara desa. Tanpa ragu mereka menceburkandiri mereka ke sungai besar itu. Di tengah-tengah asyiknya mareka berenang di sungai terdengar suara seseorang memenggil Rinda.
“Rinda….” Seru suara itu
“Rindaaa…..” suara itu semakin jelas dan semakin dekat.
Ternyata suara yang memanggil-manggil Rinda tadi adalah suara kakeknya.
“rupanya kau di sini, cepat pulang, dasar anak nakal.”
“tapi kakek, aku sedang bermain… sebentar lagi ya kek”
“cepat pulang dan jangan pernah lagi mandi di sungai ini”
Rinda tetap tidak keluar dari sungai itu.
“kau ini ngeyel sekali. Ayo keluar dari situ nanti kau bisa sakit” kata kakeknya sambil memaksa Rinda keluar dari sungai. Kakek Rinda adalah seorang veteran, jadi tidak heran kalau dia sedikit tegas.
“iya kakek…”

********

Setelah memakan habis bubur ayam dan menenggak segelas susu, Rinda berangkat ke sekolah. Begitu istirahat tiba Bayu sudah menghadangya di depan pintu kelas.
“hei, minggir. Aku mau lewat” teriak Rinda.
“tidak mau, sebelum kau memberiku sebagian dari uang jajanmu” pinta Bayu.
“aku tidak membawa uang jajan… lihat sendiri sakuku tidak ada isisnya.
“bohong, cepat berikan uang jajanmu padaku”
Rinda memutar balik badannya. Ia berjalan lewat pintu belakang kelasnya untuk menghindari Bayu. Karena tidak diberi uang, Bayupun marah. Ia memukul Rinda keras-keras sampai Rinda menangis. Guru yang mendengarnyapun langsung memarahi Bayu.
 Sesampainya di rumah
“Rinda, mengapa kau menangis?” Tanya Bapaknya
“aku dinakali Bayu” jawabnya dengan polos.
“dasar temanmu itu nakal sekali, besok biar Bapak datangi dia di rumahnya.”

********

Libur puasa sudah tiba. Kali ini Rinda tidak pergi menginap di rumah Ibunya. Ia menjalani liburan puasa di rumah Belandanya. Saat siang menyapa dengan panasnya yang begitu terik. Budhenya mulai menyuruh Rinda mengerjakan pekerjaan rumah.
“cepat kerjakan, aku sudah capai baru saja pulang kerja”
“tapi budhe, Rinda sedang mengerjakan PR, apakah budhe tidak bisa menyuruh anak budhe untuk menggantikanku mengerjakannya?” Tanya Rinda dengan nada yang polos khas anak-anak.
“tidak bisa, tinggalkan dulu PR mu itu, lalu kalau kau sudah selesai mencuci piring dan menyapu baru boleh kau lanjutkan lagi.”
“tapi budhe….”
“sudah cepat kerjakan saja” bentak budhenya.
Rinda tidak pernah menceritakan semua itu kepada bapakna. Ia hanya menyimpan semua itu sendirian. Terkadang ia menulis keluh kesahnya di dalam buku harian kecilnya. Meski Bapak tidak pernah diberitahu oleh Rinda akan hal itu, tetapi Bapak sudah mengetahuinya. Bahkan tetangga Rinda dan Ibunya Anggra juga tahu akan hal itu.
“bagaimana kalau kamu di rumah, apakah budhemu masih sering menyuruh-nyuruhmu?” Tanya Ibunya Anggra saat Rinda datang bermain ke rumah Anggra.
“ya begitulah, aku melakukannya dengan senag hati” jawabnya sambil tersenyum, padahal sesungguhnya perasaannya tidak seperti senyumnya saat ini.
Ibunya Anggra adalah orang yang baik, namun ia bisa menjadi galak kalau Anggra ataupun kedua kakaknya tidak mematuhi nasihatnya. Bahkan tidak jarang Anggra tidak diizinkan masuk ke rumah karena terlambat pulang ke rumah.

Libur puasa belum usai. Kalau puasa sepeti ini, Rinda sering diajak neneknya pergi ke masjid untuk takjilan dan solat tarawih, terkadang nenek juga mengajaknya tadarus bersama. Nenek belum begitu lancar membaca Al-Qur’an jadi nenek sering meminta bantuan Rinda untuk membacanya.

********

Sekian lama tinggal bersama kakek, nenek, bapak dan budhenya di rumah Belanda, Rinda merasa banyak sekali hal yang ia alami. Siang yang begitu cerah matahari mencurahkan cahaya terangnya untuk menyinari bumi. Seperti hari-hari biasa, kakek selalu membaca koran di teras rumah mbah Nata –kakanya sendiri-. Begitu pulang dari membaca koran, kakek rebahan di tempat tidur tua di kamarnya yang terletak persis di samping kamar Rinda. Saat akan menjalankan solat dzuhur tiba-tiba kakek memanggil-manggil Bapak.
“apa apa pak?” Tanya Bapak
‘bagaimana ini? Bagaimana aku ini?” Kata kakek
“bagaimana apanya pak? Apanya yang bagaimana?” Tanya bapak lagi.
Kakek tidak bisa bangun saat ia akan malaksanakan solat dzuhur, jadilah kakek solat dzuhur dengan berbaring. Jam menunjukkan pukul 5 sore, kakek kumat lagi batuknya. Akhirnya pada sore itu juga kakek dibawa ke rumah sakit.
Malam hari ketika semuanya sedang tidur pulas, terdengar suara pintu rumah Belanda di ketuk-ketuk oleh seseorang. Dengan sedikit mengantuk pintu itu dibuka, ternyata pakdhe.
“ada apa pakdhe?” Tanya Rinda
“mana nenekmu? Aku mau menyampaikan sesuatu”
“ada di kamarnya” jawab Rinda
Tak berapa lama tedengar suara tangisan dari kamar nenek. Ternyata kakek meninggal dunia. Rinda yang sedari tadi ada di runag tamu menangis sejadi-jadinya. Pikirannya melayang ke masa lalu, siapa lagi yang akan menasihatinya dan menjemput paksa dirinya saat ia mandi di sungai besar?

*********

Selang 4 tahun setelah meninggalnya kakek, nenek juga dipanggil oleh penguasa hidup. Rumah Belanda menjadi begitu sepi. Tak ada lagi suara kakek yang menyanyikan lagu jepang yang dipelajarinya saat menjadi veteran, tak ada lagi suara batuknya yang mengisi malam, tak ada lagi celana pendek hitam yang tergantung di gantungan baju di kamarnya, tak ada lagi kakek yang membaca majalah jawa di ruang tamu. Begitu juga dengan nenek, Rinda selalu merindukan neneknya. Tak ada lagi nenek yang tergesa-gesa ke masjid untuk solat berjamaah, tak ada lagi langkah kaki nenek yang diseretnya bersama sandal, tak ada lagi jejak sandal nenek yang membekas di ruang depan, tak ada lagi nenek yang mengintip kamarnya dan bertanya “belum tidur nak?” atau “ada PR nak” tak ada lagi yang menanyakan “sudah makan belum nak? Kalau belum, nenek ada lauk. Nanti kamu ambil ya” atau suara nenek melagukan tembang-tembang jawa dan salawat.

Rinda begitu sedih, setelah ditinggal kakek dan neneknya rumah Belanda itu menjadi begitu sepi. Apalagi saat libur sekolah. Tak ada lagi yang menemani Rinda, karena bapak dan ibunya berkerja, adiknya menginap di rumah nenek dari ibunya. Jadilah ia sendiri di rumah saat liburan tiba. Terkadang ia masih merasa kalau nenek dan kakeknya masih ada menemaninya di rumah.

Sekarang rumah Belanda itu sedikit berubah. Bagian depan sudah ditambah sebuah ruangan. Bagian belakang yang dulu kandang ayam sudah tiada lagi. Sumur yang semula terbuka kini separo latarnya sudah bertembok. Kamar mandi yang semula besar kini tinggal separonya saja. Meski begitu, Rinda tak pernah lupa seperti apa bentuk rumah Belanda itu saat pertama ia menginjakkan kaki di sana, begitu pula dengan  kakek dan nenek yang begitu baik menggantikan orang tua Rinda selama keluarganya ada masalah, mengasuh dan memberi makan setiap hari hanya dari hasil bertani, berladang dan menjual hasil ladang (seperti melinjo, nagka, dan kelapa).

Terimakasih Tuhan, Engkau berikan aku hidup yang begitu berarti di rumah Belanda ini.

********

 Yogyakarta, 9 September 2011