Satu hari di
penghujung bulan November. Aku sedang bingung dengan apa yang sedang aku
rasakan. Aku ingin menangis tapi air mataku tidak mau keluar. Sepertinya aku
sedang merindukan banyak hal.
Ini adalah
tulisanku empat tahun lalu. Aku masih duduk di kelas XI MAN Yogyakarta 1. Saat itu,
aku senang menulis cerpen. Setelah membaca cerpen ini, mulai hari ini, aku
bertekad untuk memulai kembali kesenanganku menulis cerpen.
Happy reading!
Rumah Belanda
Oleh :
Nia Wulandari
Tidak semua orang mempunyai jalan hidup yang sempurna.
Terkadang jalan yang terjal dan berbatu juga harus dilalui. Tidak apa-apa,
tidak perlu mengeluh. Jalani saja karena semua orang punya jalan hidupnya
masing-masing.
Bermula ketika keluarga Rinda mengalami sedikit masalah saat
itu. Rinda belum tahu apa-apa, karena Rinda
masih sangat kecil. Rinda tinggal
bersama ayahnya di rumah nenek dan kakeknya, rumah itu adalah bekas rumah Belanda
yang dulu digunakan untuk mengungsi saat Indonesia masih dijajah. Rumahnya
begitu tua, jendela dan pintunya begitu besar dan tinggi, dindingnya tebal, dan
sangat luas. Kamar mandinya begitu besar begitu pula bak mandinya, sumurnya
juga begitu dalam dan sedikit gelap.
Rinda tinggal di
rumah Belanda itu sejak ia duduk dikelas 1 SD. Setiap ada teman-temannya yang
datang untuk bermain, mereka selalu bertanya
“mengapa pintu
dan jendelanya harus rangkap dua sampai tiga bagian?” atau “mengapa pintu dan jendela
di rumahmu begitu tinggi?”.
Rinda hanya bisa
menjawab “karena rumahku ini rumah Belanda”.
Mereka keheranan,Rinda
sendiripun juga keheranan karena ia juga belum mengetahui asal mula rumah
Belanda itu, karena ternyata rumah
belanda itu berusia lebih tua dari kakeknya.
Ayah Rinda
bekerja sebagai seorang penjaga toko. Setiap hari ayahnya berangkat untuk
bekerja, terkadang berangkat pagi dan terkadang berangkat malam. Kalau ayahnya
berangkat pada siang hari, ia akan kesepian di rumah. Karena Rinda sama sekali belum punya teman.
********
Rinda bersekolah
di sebuah sekolah dasar yang tidak jauh dari rumah Belanda yang ditinggalinya
itu. Jadi untuk menuju ke sekolah ia cukup berjalan kaki. Namun terkadang jika
ayahnya berangkat malam, Rinda akan diantar oleh ayahnya. Rinda belum mempunyai
satu temanpun saat hari pertama masuk sekolah dasar. Tetapi kemudian ia bertemu
dengan Erna dan Yeni yang ternyata adalah teman TK nya dulu. Rinda tidak
mengingat mereka berdua, karena pada saat ia masuk TK di tahun pertama ia harus
pindah sehingga teman-teman yang diingatnya pun tidak banyak.
Pada tahun
terakhir di kelas 1- model pendidikannya masih memakai model caturwulan-. Di tahun
terakhir , Rinda sangat bahagia karena ia mendapat rangking 1 di kelasnya.
Saat pulang ke
rumah setelah mengambil rapot
“Rinda bagaimana nilai rapotmu?” Tanya nenek dan
kakeknya.
“bagus… aku mendapat rangking 1 dan mendapat hadiah
dari bu guru.” Jawabnya senang.
“wah…. Anak
pintar, jangan malas-malas ya supaya besok bisa rangkin 1 lagi” nasihat
nenek dan kakeknya. Rinda mengangguk pasti.
Liburan
caturwulan sampai satu bulan lamanya, Rinda banyak menghabiskan waktu liburannya
untuk menginap di rumah ibunya yang juga tidak begitu jauh, namun harus
melewati ringroad. Rinda dijemput ibunya untuk berangkat kesana.
Saat liburan
selesai, Rinda kembali lagi ke rumah Belanda itu.
“Rinda, sudah kembali dari menginap di
rumah ibumu?” Tanya budhenya.
“iya…” jawabnya polos.
********
Sekolah kembali
berjalan seperti biasa. Rinda sudah duduk di kelas 2 SD. Ia sudah mulai bisa
mengenal teman-temannya. Ia juga mendapat teman baru yang ternyata tinggal satu
desa dengannya. Namanya Anggra. Setiap pulang sekolah mereka sering main
bersama. Seperti hari itu, Anggra juga bermain kerumah Belanda yang ditinggali Rinda.
Seperti
tanggapan teman-temannya yang lain, ia juga bertanya
“Rinda,
mengapa jendela dan pintu di rumahmu begitu besar?” Rinda tersenyum
“haha… kau sama seperti yang lain.” Jawabnya. Anggra
tidak tahu apa yang dimaksud Rinda.
“Iya, Tanggapanmu sama seperti yang lain ketika
pertama kali mereka datang kesini. Mereka selalu bertanya mengapa pintu dan
jendela ini begitu besar, dan aku akan selalu menjawabnya karena ini rumah Belanda”
jelasnya panjang lebar.
“ooo.. jadi rumahmu ini peninggalan Belanda?” Tanya
Anggra sekali lagi. Rinda mengangguk.
Mereka bermain
boneka-bonekaan di sebelah jendela besar rumah Belanda itu. Saat Anggra akan
berdiri, tiba-tiba
DUG…..!
“aduh, sakit sekali. Jendela rumahmu ini
begitu keras.” Katanya sambil mengelus-elus kepalanya yang terbentur kayu jati
dari jundela rumah Belanda itu.
“ya… memang” jawab Rinda. Anggra
bukannya menangis, tetapi mereka berdua malah tertawa terbahak-bahak.
Begitu asyiknya
mereka bermain, Budhe memanggil Rinda.
“Rinda…..” panggilnya keras-keras.
“iya budhe, ada apa?” Tanya Rinda dengan polosnya.
“kalau sudah selesai makan, piringnya dicuci
sendiri. Aku sudah capai mengerjakan pekerjaan rumah yang lain.”
“iya budhe…” jawabnya lirih.
Rinda bergegas
memberesi mainannya dan menyuruh Anggra untuk pulang dulu. Dicucilah piring
yang teronggok di ember cucian piring dan meletakkannya kembali di rak-rakan
tua yang dibuat sendiri oleh kakeknya dari bambu yang diambil dari belakang
rumah belandanya.
********
Suatu pagi yang cerah, seperti biasa Rinda menunggu
penjual bubur ayam yang selalu lewat di depan rumahnya. Itu bukan karena ia
pemboros, tetapi karena nenek memasak pada siang hari, jadi tak ada makanan
yang bisa dimakan untuk mengganjal perutnya sebelum mengikuti pelajaran di
sekolah. Terkadang selain makan bubur ayam yang dibelinya pada penjual keliling
yang lewat depan rumahnya, ia juga minum segelas susu putih. Ia rutin meminum
susu putih itu tiga kali sehari.
Siang begitu
terik, Rinda pulang dari sekolah. Ia mengeluarkan sepeda kecilnya dan membawa
sepeda itu ke belakang rumah. Ia bersepeda dengan riang. Ketika ia sedang asyik
berputar-putar mengelilingi halaman belakang dengan sepedanya ia terjatuh dari
sepedanya dan membuat lutunya terluka. Ia ingin menangis, namun air mata yang
sudah menumpuk di kelopak mata itu di tahan untuk keluar.
Hari yang
berbeda, Rinda sedang menyapu bagian belakang rumah Belandanya. Rinda melakukan
itu untuk menghindari makian budhenya yang sering memarahinya. Sapunya bergerak
kesana kemari membersihkan tempat-tempat yang kotor.
Esok pagi di
hari Jum’at, Rinda berangkat sekolah seorang diri. Bapaknya sudah berganti
pekerjaan menjadi seorang satpam di perumahan yang tidak jauh dari desanya.
Kebetulan hari ini bapaknya berangkat pagi, jadi tidak bisa mengantar Rinda ke
sekolah. Di sekolahnya dia sering dinakali oleh temannya yang bernama Bayu.
Anak itu sering mengejeknya, mengompasinya, dan memukulinya. Saat pulang
sekolah tiba, Rinda dan Anggra berjalan pulang berdua, menyusuri jalanan desa
yang di tepinya masih ada sungai kecil dan ladang tebu. Hari ini kebetulan ladang
tebu itu sedang dirombak. Rinda dan Anggra sering mampir di tempat perombakan
tebu itu. Bukan untuk apa-apa, tetapi sering kali mereka mendapatkan tebu dari
para pegawai perombak. Saat berjalan menyusuri sungai kecil dan harus
menyebranginya, mereka berdua berjalan hati-hati diatas jembatan kecil yang
disebut wot. Saat mereka sampai di bagian tengah wot tiba-tiba
Byuuuuur….
Mereka berdua
jatuh kedalam sungai sehingga baju seragam, sepatu dan tas merekapun turut
basah oleh air sungai.
“hahahahahaha…..” mereka tertawa terbahak-bahak.
“bagaimana tadi kita bisa terjatuh?” Tanya Anggra.
“mungkin jembatan ini tidak kuat menahan beban kita
berdua, lagipula kayu dari jambatan itu sudah lapuk” jawab Rinda masih berada
di dalam sungai dan mencoba untuk keluar.
“benar juga, kalau begitu kita tidak usah plang
dulu. Ayo kita mandi sekalian di sungai yang besar di sebelah utara.” Ajak
Anggra
“benar juga, lagipula kita kan sudah basah kuyup”
Mereka berdua
berjalan menuju sungai besar di sebelah utara desa. Tanpa ragu mereka
menceburkandiri mereka ke sungai besar itu. Di tengah-tengah asyiknya mareka
berenang di sungai terdengar suara seseorang memenggil Rinda.
“Rinda….” Seru suara itu
“Rindaaa…..” suara itu semakin jelas dan semakin
dekat.
Ternyata suara
yang memanggil-manggil Rinda tadi adalah suara kakeknya.
“rupanya kau di sini, cepat pulang, dasar anak
nakal.”
“tapi kakek, aku sedang bermain… sebentar lagi ya
kek”
“cepat pulang dan jangan pernah lagi mandi di sungai
ini”
Rinda tetap
tidak keluar dari sungai itu.
“kau ini ngeyel sekali. Ayo keluar dari situ nanti
kau bisa sakit” kata kakeknya sambil memaksa Rinda keluar dari sungai. Kakek Rinda
adalah seorang veteran, jadi tidak heran kalau dia sedikit tegas.
“iya kakek…”
********
Setelah memakan
habis bubur ayam dan menenggak segelas susu, Rinda berangkat ke sekolah. Begitu
istirahat tiba Bayu sudah menghadangya di depan pintu kelas.
“hei, minggir. Aku mau lewat” teriak Rinda.
“tidak mau, sebelum kau memberiku sebagian dari uang
jajanmu” pinta Bayu.
“aku tidak membawa uang jajan… lihat sendiri sakuku
tidak ada isisnya.
“bohong, cepat berikan uang jajanmu padaku”
Rinda memutar
balik badannya. Ia berjalan lewat pintu belakang kelasnya untuk menghindari
Bayu. Karena tidak diberi uang, Bayupun marah. Ia memukul Rinda keras-keras
sampai Rinda menangis. Guru yang mendengarnyapun langsung memarahi Bayu.
Sesampainya di rumah
“Rinda, mengapa kau menangis?” Tanya Bapaknya
“aku dinakali Bayu” jawabnya dengan polos.
“dasar temanmu itu nakal sekali, besok biar Bapak
datangi dia di rumahnya.”
********
Libur puasa
sudah tiba. Kali ini Rinda tidak pergi menginap di rumah Ibunya. Ia menjalani
liburan puasa di rumah Belandanya. Saat siang menyapa dengan panasnya yang
begitu terik. Budhenya mulai menyuruh Rinda mengerjakan pekerjaan rumah.
“cepat kerjakan, aku sudah capai baru saja pulang
kerja”
“tapi budhe, Rinda sedang mengerjakan PR, apakah
budhe tidak bisa menyuruh anak budhe untuk menggantikanku mengerjakannya?”
Tanya Rinda dengan nada yang polos khas anak-anak.
“tidak bisa, tinggalkan dulu PR mu itu, lalu kalau
kau sudah selesai mencuci piring dan menyapu baru boleh kau lanjutkan lagi.”
“tapi budhe….”
“sudah cepat kerjakan saja” bentak budhenya.
Rinda tidak
pernah menceritakan semua itu kepada bapakna. Ia hanya menyimpan semua itu
sendirian. Terkadang ia menulis keluh kesahnya di dalam buku harian kecilnya.
Meski Bapak tidak pernah diberitahu oleh Rinda akan hal itu, tetapi Bapak sudah
mengetahuinya. Bahkan tetangga Rinda dan Ibunya Anggra juga tahu akan hal itu.
“bagaimana kalau kamu di rumah, apakah budhemu masih
sering menyuruh-nyuruhmu?” Tanya Ibunya Anggra saat Rinda datang bermain ke
rumah Anggra.
“ya begitulah, aku melakukannya dengan senag hati”
jawabnya sambil tersenyum, padahal sesungguhnya perasaannya tidak seperti
senyumnya saat ini.
Ibunya Anggra
adalah orang yang baik, namun ia bisa menjadi galak kalau Anggra ataupun kedua
kakaknya tidak mematuhi nasihatnya. Bahkan tidak jarang Anggra tidak diizinkan
masuk ke rumah karena terlambat pulang ke rumah.
Libur puasa
belum usai. Kalau puasa sepeti ini, Rinda sering diajak neneknya pergi ke
masjid untuk takjilan dan solat tarawih, terkadang nenek juga mengajaknya tadarus
bersama. Nenek belum begitu lancar membaca Al-Qur’an jadi nenek sering meminta
bantuan Rinda untuk membacanya.
********
Sekian lama
tinggal bersama kakek, nenek, bapak dan budhenya di rumah Belanda, Rinda merasa
banyak sekali hal yang ia alami. Siang yang begitu cerah matahari mencurahkan
cahaya terangnya untuk menyinari bumi. Seperti hari-hari biasa, kakek selalu
membaca koran di teras rumah mbah Nata –kakanya sendiri-. Begitu pulang dari
membaca koran, kakek rebahan di tempat tidur tua di kamarnya yang terletak
persis di samping kamar Rinda. Saat akan menjalankan solat dzuhur tiba-tiba
kakek memanggil-manggil Bapak.
“apa apa pak?” Tanya Bapak
‘bagaimana ini? Bagaimana aku ini?” Kata kakek
“bagaimana apanya pak? Apanya yang bagaimana?” Tanya
bapak lagi.
Kakek tidak bisa
bangun saat ia akan malaksanakan solat dzuhur, jadilah kakek solat dzuhur
dengan berbaring. Jam menunjukkan pukul 5 sore, kakek kumat lagi batuknya.
Akhirnya pada sore itu juga kakek dibawa ke rumah sakit.
Malam hari
ketika semuanya sedang tidur pulas, terdengar suara pintu rumah Belanda di
ketuk-ketuk oleh seseorang. Dengan sedikit mengantuk pintu itu dibuka, ternyata
pakdhe.
“ada apa pakdhe?” Tanya Rinda
“mana nenekmu? Aku mau menyampaikan sesuatu”
“ada di kamarnya” jawab Rinda
Tak berapa lama
tedengar suara tangisan dari kamar nenek. Ternyata kakek meninggal dunia. Rinda
yang sedari tadi ada di runag tamu menangis sejadi-jadinya. Pikirannya melayang
ke masa lalu, siapa lagi yang akan menasihatinya dan menjemput paksa dirinya
saat ia mandi di sungai besar?
*********
Selang 4 tahun
setelah meninggalnya kakek, nenek juga dipanggil oleh penguasa hidup. Rumah
Belanda menjadi begitu sepi. Tak ada lagi suara kakek yang menyanyikan lagu
jepang yang dipelajarinya saat menjadi veteran, tak ada lagi suara batuknya
yang mengisi malam, tak ada lagi celana pendek hitam yang tergantung di
gantungan baju di kamarnya, tak ada lagi kakek yang membaca majalah jawa di
ruang tamu. Begitu juga dengan nenek, Rinda selalu merindukan neneknya. Tak ada
lagi nenek yang tergesa-gesa ke masjid untuk solat berjamaah, tak ada lagi
langkah kaki nenek yang diseretnya bersama sandal, tak ada lagi jejak sandal
nenek yang membekas di ruang depan, tak ada lagi nenek yang mengintip kamarnya
dan bertanya “belum tidur nak?” atau “ada PR nak” tak ada lagi yang menanyakan
“sudah makan belum nak? Kalau belum, nenek ada lauk. Nanti kamu ambil ya” atau
suara nenek melagukan tembang-tembang jawa dan salawat.
Rinda begitu
sedih, setelah ditinggal kakek dan neneknya rumah Belanda itu menjadi begitu
sepi. Apalagi saat libur sekolah. Tak ada lagi yang menemani Rinda, karena bapak
dan ibunya berkerja, adiknya menginap di rumah nenek dari ibunya. Jadilah ia
sendiri di rumah saat liburan tiba. Terkadang ia masih merasa kalau nenek dan
kakeknya masih ada menemaninya di rumah.
Sekarang rumah
Belanda itu sedikit berubah. Bagian depan sudah ditambah sebuah ruangan. Bagian
belakang yang dulu kandang ayam sudah tiada lagi. Sumur yang semula terbuka
kini separo latarnya sudah bertembok. Kamar mandi yang semula besar kini
tinggal separonya saja. Meski begitu, Rinda tak pernah lupa seperti apa bentuk
rumah Belanda itu saat pertama ia menginjakkan kaki di sana, begitu pula dengan
kakek dan nenek yang begitu baik
menggantikan orang tua Rinda selama keluarganya ada masalah, mengasuh dan
memberi makan setiap hari hanya dari hasil bertani, berladang dan menjual hasil
ladang (seperti melinjo, nagka, dan kelapa).
Terimakasih Tuhan, Engkau berikan aku hidup yang begitu berarti di rumah Belanda ini.
********
Yogyakarta, 9
September 2011