Hello blogger, how are you? Masih dalam suasana lebaran dan
masih di bulan syawal, nia mengucapkan minal aidzin wal faidzin mohon maaf
lahir dan batin.
Udah lama nggak nulis di blog. Hari ini, saya mau berbagi
kesibukan saya selama lebaran kemarin. Lebaran kemarin, seperti biasa saya
menghabiskan waktu bersama keluarga. Hampir semua keluarga saya tinggal di
Yogyakarta, jadi saya tidak pernah merasakan bagaimana itu mudik. Hehehe
Blogger, sebenarnya yang mau saya bagi ini adalah tentang
keluarga besar dari Bapak saya. Menurut saya, keluarga besar ini sangat unik.
Kami menyebutnya “Trah Keluarga Besar Wirodinomo”. Mengapa unik? Karena dalam
trah keluarga besar ini, mengadaptasi tokoh wayang pandhawa lima.
Cerita dimulai dari eyang buyut saya yaitu mbah Wirodinomo.
Saya sendiri belum pernah melihat bagaimana muka kedua eyang buyut saya, bahkan
Bapak sayapun belum pernah. Karena eyang buyut saya sudah lama meninggal
sebelum saya lahir, bahkan sebelum Bapak saya lahir. Eyang buyut saya ini asli
orang jawa. Saya banyak bertanya kepada bapak, apakah kami ada keturunan
Belanda atau mana (karena kakek saya dan saudara-saudaranya dahulu ikut
berjuang melawan penjajah, siapa tahu ada sedikit darah-darah luar negeri),
tapi kata Bapak saya, kami asli orang jawa.
Nah, eyang buyut saya ini punya lima anak yang semuanya
laki-laki. Dari situlah istilah pandhawa lima didapat. Anak pertama adalah mbah
Mangun. Sebagai anak pertama, beliau dipanggil Puntadewa atau Yudhistira. Anak
kedua adalah mbah Mardi, beliau dipanggil Werkudara atau Bima. Anak ketiga
adalah Mbah Nata, beliau dipanggil Arjuna atau Janaka. Anak keempat adalah mbah
Winar, beliau adalah kakek saya. Beliau dipanggil Nakula. Anak terakhir adalah
mbah Genyo, beliau dipanggil Sadewa. Namun, sampai tahun 2015 ini, hanya
tinggal Mbah Genyo putri saja yang masih sehat. Simbah-simbah yang lain sudah
mendahului kami semua.
Kelima anak eyang buyut saya tinggal di satu desa bernama
Panggungan. Lengkapnya Panggungan Lor, Trihanggo, Gamping, Sleman, Yogyakarta. Semua
anak memiliki rumah masing-masing yang tidak jauh antara satu dengan yang
lainnya. Rumah-rumah tersebut diibaratkan sebagai kerajaan dari masing-masing
pandhawa. Jadi dapat diuraikan sebagai berikut:
1.
Mbah Mangun (Puntadewa atau Yudhistira) memiliki
rumah yang diibaratkan sebagai kerajaan Amarta.
2.
Mbah Mardi (Werkudara atau Bima) memiliki rumah
yang diibaratkan sebagai kerajaan Jodhipati.
3.
Mbah Nata (Arjuna atau Janaka) memiliki rumah
yang diibaratkan sebagai kerajaan Madukara.
4.
Mbah Winar (Nakula) memiliki rumah yang
diibaratkan sebagai kerajaan Gumbiratalun atau Bumiratalun.
5.
Mbah Genyo (Sadewa) memiliki rumah yang
diibaratkan sebagai kerajaan Mandaraka.
Rumah-rumah tersebut, sekarang ditempati oleh ahli waris
yang masih hidup. Rumah Eyang Wirodinomo sendiri, saat ini ditempati oleh
keluarga Mbah Genyo.
Setiap lebaran, keluarga besar Wirodinomo selalu mengadakan
syawalan trah. Tempat syawalan ini akan digilir sesuai dengan urutan lahir.
Misalnya, tahun ini syawalan diadakan di rumah keluarga Mbah Mardi, maka tahun
berikutnya syawalan akn diadakan di rumah keluarga Mbah Nata. Begitu
seterusnya. Setiap syawalan, semua keluarga berkumpul. Tidak hanya keluarga
yang di Yogyakarta, tetapi juga keluarga-keluarga yang berada di luar
Yogyakarta. Mereka pulang ke Yogya untuk bersyawalan dan berkumpul bersama
keluarga besar. Setahu saya, keluarga kami ada yang tinggal di Jakarta bahkan
Kalimantan. Meskipun jauh, mereka tetap meluangkan waktu untuk pulang ke Yogya
saat syawalan.
Setiap tahunnya, keluarga besar Wirodinomo selalu bertambah.
Sampai-sampai saya sendiri tidak hafal namanya. Setiap ada acara trah dan saya
tidak tahu siapa nama saudara saya, saya akan bertanya pada Ibu dan Bapak
(Siapa namanya? Saya harus manggil dia siapa? Budhe? Pakdhe? Bulik? Om? Mas?
Mbak?). Apalagi bila ada salah satu saudara yang baru saja menikah dan punya
anak, kadang saya belum hafal nama dari pasangannya karena masih jarang
bertemu. Karena banyak sekali anggota keluarga kami, kadang saya berpikir, kami
bisa membuat dinasti sendiri, Dinasti Wirodinomo. Hehehe
Dari keluarga besar Wirodinomo ini, saya banyak belajar.
Belajar mengenai persaudaraan, belajar mengenai pewayangan dan yang utama
adalah belajar unggah-ungguh orang jawa.
Darimana sisi unggah-ungguh orang jawanya?
Saya belajar bahasa jawa krama alus dari keluarga ini. Saya
juga diajarkan harus mengerti urut-urutan dalam keluarga ini, sehingga saya
tidak salah memanggil saudara-saudara saya. Walaupun lebih muda, tapi jika ia
adalah anak Pakdhe saya, maka saya tetap harus memanggilnya mas atau mbak. Saat
budhe sudah memiliki cucu, sedangkan Ibu saya masih muda, ibu saya juga tetap
harus dipanggil simbah. Selain itu, saya juga harus melakukan sungkeman dengan
bahasa jawa saat lebaran. Sampai saat ini, saya masih berusaha menghafal
kalimat yang harus saya gunakan saat sungkeman. Saya banyak bertanya kepada
Bapak.
Hal-hal seperti itu masih berlaku dalam keluarga kami. Saya
berharap, keluarga besar ini menjadi semakin rukun, damai, kompak dan
sejahtera. Saya juga berharap semoga persaudaraan di antara kami akan selalu
terjalin dengan harmonis. ^_^
En fin, Aïd Moubarak à tous mes frères et soeurs partout dans le monde!
One Big Family
I wonder why you and me fight each other
Don’t you see the similarities between us
Take a minute and see yourself in the mirror
You look like me
Those eyes, lips, you can’t deny
Have you taught about, why we look the same?
Why we feel the same?
Don’t tell me it’s by chance
It doesn’t matter if you live far away from me
You feel, I feel
You bleed, I bleed
You cry and I cry
We sleep and dream
Sometimes we’re sad, sometimes we’re happy
You breathe, I breathe
We love, walk, talk and we smile
I care about you
And I wish you could realize
There’s no difference between us two
We’re part of one family
No matter how far you are
And even if we don’t know each other
You and me
Me and you
We are one
You’re my bother
You’re my sister
We’re one big family
Just one big family