Selasa, 12 Agustus 2014

LABIRIN DAN PELANGI



 Labirin dan Pelangi 

Oleh: Nia Wulandari 

            Langkah kakiku membawaku ketempat yang tidak bisa kulupakan. Tempat dimana aku serasa terseret kambali ke masa lalu, tempat yang selalu membuatku meneteskan air mata. Apalagi dengan rintik hujan sore ini, suasana menjadi semakin kelabu. Aku tidak menganggap masa lalu itu kelam. Hanya saja banyak hal yang membuatku tersesat dan jatuh karenanya. Aku selalu saja berjalan ke arah yang salah pada akhirnya. Tapi, bukan aku jika aku menyerah begitu saja dengan keadaan.
***
            Jam 5 pagi. Aroma nasi goreng Ibu tercium dari dapur. Semua orang di rumah ini seperti dibangunkan oleh aroma nasi goreng Ibu. Aku juga begitu. Kusibak selimut yang menghangatkanku semalam, duduk sebentar mengumpulkan nyawaku yang mungkin masih ada yang asyik di alam mimpi.
            “Haaah….” Aku menguap.
            Aku beranjak dari kasurku yang tidak lagi empuk, meninggalkan selimutku begitu saja di atasnya.
            “Marta, sudah bangun?” Tanya Ibu.
            “Iya bu, aroma nasi goreng Ibu seperti alarm” Jawabku sedikit tertawa, Ibu juga ikut tertawa.
            Aku bergegas masuk ke kamar mandi, supaya tidak perlu antri mandi nantinya. Itu karena kamar mandi di rumah kami hanya ada satu. Belum sempat menutup pintu kamar mandi, Mbak Kiran masuk tanpa permisi.
            “Mbak, Marta mau mandi, Mbak Kiran keluar dulu”
            “Aduh, perut Mbak sakit, kamu tunggu di luar dulu ya. Mbak nggak lama kok”
            Aku keluar dengan terpaksa dan kembali menunggu di depan pintu.
            “Mbak, sudah selesai belum?”
            “Sudah sih, tapi Mbak mau mandi sekalian”
Aku manghela nafas panjang. Dasar Mbak Kiran, mentang-mentang kakak, dia suka berbuat seenaknya. Karena terlalu lama dan membuang waktu kalau aku harus menunggu Mbak Kiran, aku memutuskan untuk sarapan lebih dahulu. Kuraih piring dari rak piring dan menyendok nasi goreng ibu yang mengepulkan asap karena baru saja matang.
“Marta, katanya mau mandi? Kok nggak jadi?” Tanya Ibu.
“Kamar mandinya dipakai Mbak Kiran bu. Asal nyelonong masuk tanpa permisi, katanya sebentar, taunya mandi sekalian” Kataku panjang lebar.
Setelah menunggu beberapa lam, akhirnya Mbak Kiran selesai juga. Jam 6.15 aku siap berangkat sekolah. Seperti biasa, aku berangkat bersama kakak sulungku Mas Arif.
“Marta berangkat sekolah ya bu, assalammualaikum”
“Wa’alaikumsalam, hati-hati ya”
            Motor Mas Arif  berjalan lambat. Padahal hari ini jalanan tidak begitu macet. Jarum jam di tanganku terus bergerak, sampai jam 6.45 aku belum juga sampai ke sekolah.
            “Mas, cepet dong, kurang limabelas menit lagi gerbang ditutup”
            “Iya, sabar, kamu kan tahu motor mas Arif belum diservis” Jawab Mas Arif. Aku masih saja gelisah sambil terus melihat jarum di jam tanganku yang tidak berhenti bergerak.
            Kriiiiiiiiiiiing…….. Bel berbunyi tepat saat motor Mas Arif berhenti di depan gerbang sekolah.
            “Tepat waktu, Marta masuk dulu, takut gerbangnya keburu ditutup”
            “Ya sudah masuk sana. Jangan tidur di kelas” Kata Mas Arif sambil tertawa.
            Jam pertama di kelasku adalah pelajaran bahasa inggris. Aku selalu suka pelajaran ini, karena aku ingin bahasa inggrisku lancar dan bisa keliling dunia seperti impianku selama ini. Mr. Henry masuk membawa setumpuk kertas. Sepertinya hari ini ada ulangan harian.
            “Good morning class. Close your book and prepare your pen. There is exam today” Benar dugaanku. Hari ini ada ulangan. Mr. Henry membagikan lembar soal ulangan kepada semua siswa.
            Sekarang jam istirahat, semua siswa berhamburan pergi ke kantin. Aku dan Vivi –teman sebangkuku- juga pergi ka kantin. Tidak seperti biasanya, hari ini aku tidak membawa bekal dari rumah.
            Kriiiiiiiiiiing……. Bel pulang berbunyi, siswa yang tidur di jam pelajaran terakhir seperti mendapat angin sejuk begitu mendengar bel. Itu artinya, kepenatan mereka selama beberapa jam di kelas akan segera berakhir. Aku mengemas barang-barangku, bergegas keluar kelas, karena tidak mau terlambat les bahasa korea sore ini.
            “Vivi, Nina, Ria aku pulang dulu ya, ada les sore ini”
            “Iya ta” Sahut mereka bertiga bersamaan.
***
            Jam 4 sore, aku sudah berada di halte. Menunggu bus yang biasa aku naiki untuk pergi dan pulang les bahasa korea. Tempatnya memang sedikit jauh. Tapi karena sudah terbiasa dan semangat yang besar, itu tidak menjadi masalah bagiku. Seperempat jam aku menunggu, busnya dating juga.
            “Annyeong hashossoyo1” Kataku begitu sampai di tempat les.
            “Annyeong hashossoyo” Jawab semua orang yang ada di tempat itu.
            Aku langsung masuk ke kelasku. Ternyata lesnya sudah dimulai. Karena Pak Han sudah ada di dalam.
            “Myo sshiyeyo?2” Tanya Pak Han, aku tahu dia tidak suka siswa yang terlambat masuk ke kelasnya.
            “Mianhamnida ajeosshi3” Kataku sambil tersenyum. Pak Han membolehkanku duduk dan mengikuti les hari ini. Aku senang sekali Ibu dan Bapak mengizinkanku untuk les bahasa Korea, karena sebelumnya mereka tidak mengizinkanku les dengan alasan akan mengganggu sekolahku. Tapi setelah aku membuktikan bahwa aku bias menjalani keduanya dengan seimbang, akhirnya mereka melunak juga. Les berjalan cepat, dua jam sudah terlewatkan. Aku keluar dari tempat les dan menunggu bus di depan tempat les.
            “Marta” Panggil seseorang.
            “Irwan, kamu les di sini juga?” Tanyaku. Irwan adalah teman SMP ku. Jarang sekali aku bertemu dia. Bahkan sejak lulus dari SMP baru sekali ini aku bertemu dengannya.
            “Enggak kok, aku baru pulang dari main futsal di sebelah tempat les kamu. Mau pulang ya ta?” Aku mengangguk.
            “Pulang bareng aja. Daripada kamu nunggu bus lama”
            “Boleh?” Tanyaku sedikit canggung, karena sejak SMP aku memeng tidak terlalu akrab dengannya.  Dia menjawab dengan anggukan.
***
            Selasa malam, aku belum bisa memejamkan mataku. Sampai Bapak pulang dari kerja lembur, aku belum juga tertidur. Aku menengok jam yang tergantung di dinding kamar. Jam 1 malam. Aku menutup mukaku dengan bantal mencoba memejamkan mata.
            Jam 5 pagi, alarm di kamarku berdering memekakkan telinga. Ya ampun… aku baru saja memejamkan mata.
***
            Bus berhenti tepat di depan sekolahku. Ya, aku naik bus pagi ini. Mas Arif tidak bias mengantarku ke sekolah, padahal dia tidak ada kuliah pagi. Aku sampai di sekolah 5 menit sebelum bel masuk berbunyi. Aku belum sempat sarapan dari rumah, Ibu tidak memasak pagi ini, jadi aku pergi ke kantin sebentar. Vivid an Nina sudah ada di kelas saat aku kembali dari kantin.
            “Ria mana?” Tanyaku. Mereka berdua hanya menggeleng.
            “Kalian kenapa? Sariawan?” Mereka diam lagi.
            Aku bingung dengan sikap semua orang pagi ini, Ibu tidak memasak seperti biasanya, Mas Arif tidak mau mengantarku ke sekolah dan teman-temanku sangat aneh hari ini.Bu Alin masuk ke kelasku sat bel masuk berbunyi. Bu Alin selalu saja member catatan kepada kami, sampai-sampai aku bosan saat pelajaran. Seperti biasa, aku selalu menulis tanggal di caatanku. Ya Tuhan, ini tanggal 12 Juni, ulang tahunku. Pantas saja mereka aneh sekali pagi ini.
***
            Pulang sekolah, aku juga harus naik bus. Mas Arif benar-benar menyebalkan. Tidak mau menjemputku.
            Sore hari, aku berangkat les sendirian. Beruntung aku tidak terlambat masuk kelas Pak Han hari ini.
            “Annyeong hashossoyo, ajeosshi4” Sapaku pada Pak Han.
            “Annyeong Marta5” Jawab Pak Han.
            Aku suka les sore ini. Pak Han dan teman-teman lesku membawakan kue ulang tahun untukku. Meskipun tidak terlalu besar, tapi itu sangat membuatku senang, karena aku belum pernah mendapat kue ulang tahun sebelumnya.
            “Saeng il chukha hamnida6, Marta” Kata Pak Han.
            “Kamsahamnida, ajeosshi7” Kataku sambil tersenyum simpul.
***
            Beberapa hari setelah aku bertemu kembali dengan Irwan, aku selalu merasa nyaman berada di sampingnya. Aku tidak pernah pulang naik bus, karena setiap aku pulang sekolah, dia sudah ada di depan sekolahku.
            “Ta, akhir-akhir ini kamu menjauh ya dari kita?” Tanya Ria.
            “Menjauh? Menjauh bagaimana?” Tanyaku sedikit bingung.
            “Kamu jadi aneh ta, kamu jadi jarang sekali main keluar bareng kita. Kamu lebih suka sama teman SMPmu itu ya daripada sama kita?” Nina ikut bicara.
            “Kamu lupa ta? Kita ini sahabat” Kata Vivi ikut komentar sebelum aku sempat menjawab pertanyaan Nina.
            “Kalian bicara apa sih? Aku tidak menjauh dari kalian kok. Mungkin kalian saja yang berlebihan. Aku masih sering main keluar bareng kalian. Aku juga masih duduk di sampingmu kan Vi?” Aku balik bertanya.
            “Iya, tapi kamu tidak seperti sebelumnya. Kamu selalu pulang bareng kita tapi sekarang, apa pernah?”
            “Aku bisa menjelaskan…” Belum selesai aku bicara, mereka bertiga sudah pergi.
            Aku tahu, mungkin memang akhir-akhir ini aku jarang pulang bersama mereka. Tapi itu bukan mauku. Irwan selalu ada di depan sekolahku saat aku pulang sekolah. Aku tidak mungkin menolak tawarannya. Aku bingung harus bagaimana.
***
            Sudah satu minggu Vivi, Nina dan Ria tidak berbicara denganku. Mereka hanya bicara padaku seperlunya saja, dan itupun jarang sekali. Padahal kami berempat duduk berdekatan. Aku mencoba bijak, mungkin mereka belum terbiasa dengan keadaan yang sedang terjadi sekarang. Aku melangkah keluar kelas saat bel pulang berbunyi. Seperti hari kemarin, Irwan sudah ada di depan sekolah.
            “Ta, mau kemana?” Tanyanya saat aku melangkah menjauh menuju tempat biasa aku menunggu bus.
            “Maaf ya wan, hari ini aku mau pulang bareng sama teman-temanku”
            Belum ada 1 menit busku sudah datang. Aku masuk ke bus dan duduk di belakang kedua temanku –Vivi dan Ria-.
            “Kalian masih marah?” Tanyaku. Mereka tidak menjawab.
            “Kalian tahu kan, kalau marah lebih dari 3 hari itu nggak baik” Mereka mengangguk.
            Aku menghela nafas. Ya sudahlah, mungkin memang bukan sekarang waktu yang tepat. Aku menyandarkan punggungku di sandaran kursi bus. Mengeluarkan novel dan membacanya –itu kebiasaanku saat aku bosan, kesepian atau sendirian-.
***
            Aku menyilang kalender di kamarku dengan spidol warna merah. Sudah 10 hari. 10 hari tanpa sahabat-sahabatku. Rasanya kelam sekali. 10 hari juga aku tidak bertemu dengan Irwan. Dia meninggalkanku begitu saja, dengan semua harapan yang masih membayang di hari-hariku. Aku juga tidak tahu mengapa tiba-tiba Irwan manjauh, tapi yang jelas, sekarang ini, dia membuat hari-hariku selalu gelisah. 10 hari terakhir ini dia seperti hilang dari hidupku. Mungkin dia sedang sedang bersama orang lain. Melupakanku. Padahal, aku selalu mencoba agar aku selalu ada saat dia membutuhkanku.
            Aku bingung, aku tidak tahu harus membagi beban ini dengan siapa. Sahabat-sahabatku, mereka belum mau memaafkanku. Mbak Kiran selalu sibuk dengan tugas-tugas kuliahnya, Ibu, apalagi. Setiap hari Ibu harus bekerja agar dapur tetap mengepul. Mengapa aku selalu salah di setiap aku mencoba melangkah menuju hal yang baru?
***
            Kelas XII memang terasa begitu singkat, aku sudah tiba pada saat yang akan menentukan masa depanku. Hari ini pengumuman kelulusan. Aku berangkat lebih awal ke sekolah, aku tidak mau ketinggalan saat-saat membahagiakan kelulusanku nanti.
            Saat aku tiba di kelas, teman-temanku sudah ada di sana. Aku duduk di bangku yang biasa aku duduki bersama Vivi.
            “Kalian, apa masih mau seperti ini? Kita sudah lama tidak berbagi cerita. Sudah lama tidak tertawa bersama. Apa kalian tidak merindukan semua itu?” Tanyaku panjang lebar kepada mereka bertiga.
            “Aku sudah memaafkan kesalahanmu kemrin ta. Maafkan aku, kemarin aku sudah bertingkah seperti anak kecil” Jawab Nina, temanku yang paling polos dan bijak.
            “Aku dan Ria juga minta maaf. Sebenarnya, kami tidak marah, kami hanya kecewa. Kamu jadi tidak bias membagi waktu setelah kamu bertemu dan dekat dengan Irwan”
            “Kalian memang sahabat yang terbaik. Aku sadar sekarang, kemarin, aku dibutakan dengan Irwan. Aku lupa kalau aku punya kalian. Aku menyesal tidak mendengarkan saran kalian. Ternyata selama ini Irwan itu hanya menganggapku remeh. Sekarang dia meninggalkanku” Aku bercerita panjang lebar.
            Beberapa saat kemudian, wali kelasku datang membawa amplop. Aku tidak sabar untuk membukanya. Saat namaku dipanggil, aku berjalan ke meja guru menerima amplop itu dan tersenyum saat aku melihat tulisan yang ada di dalamnya. Aku lulus.
***
            Semua orang di rumah ikut senang dengan keleulusanku. Meskipun aku tidak menjadi lulusan terbaik, tapi nilaiku semuanya di atas rata-rata. Ibu mambuat nasi tumpeng untuk merayakan kelulusanku. Kami sekeluarga makan bersama malam itu.
            “Bu, Marta ingin sekali kuliah di luar negeri” Kataku di sela-sela makan malam bersama.
            “Kamu yakin ta?” Tanya Mbak Kiran sedikit terkejut. Aku mengangguk.
            “Kamu jangan ketinggian kalau bermimpi. Kamu harus tahu diri. Kamu tahu kan bagaimana keadaaan kita sekarang?” Tanya Mas Arif.
            “Iya ta. Keluarga kita ini pas-pasan. Kita ini Cuma kalangan menengah. Kamu kuliah di sini saja sudah sangat bagus” Kata Mbak Kiran lagi.
            “Tapi Mbak? Marta sudah menginginkan itu sejak lama. Marta ingin…”
            “Mbak tahu. Tapi kamu harus tahu diri, keadaannya tidak memungkinkan ta” Mbak Kiran memotong bicaraku.
            Aku diam, semua yang ada juga ikut diam. Hening. Aku melanjutkan menyendok nasi dan memasukkannya ke mulutku. Mbak Kiran dan Mas Arif bergegas dari tempat kami berkumpul, Ibu juga. Hanya Bapak yang masih berada di depanku. Aku menatpnya. Sebutir air mata turun dari keopak mataku. Diikuti oleh butiran-butiran yang lebih banhak, sampai membasahi pipiku. Bapak hanya diam, menghapus air mataku dengan tangannya.
            “Pak, apa Marta salah bicara tadi?” Tanyaku masih sambil menangis.
            “Tidak. Bapak tahu, keliling dunia adalah hal yang kamu mimpikan sejak lama. Bapak juga tahu, semua orang boleh bermimpi, boleh punya harapan. Bahkan harus mempunyai harapan. Karena tanpa harapan, hidup ini bukanlah hidup” Bapak menasihatiku panjang lebar.
            Bapak memang selalu bijak. Bapak bahkan tidak memarahiku sama sekali.
***
            Aku merasa asing di rumah. Sejak aku mengungkapkan keinginanku untuk kuliah di luar negeri, seisi rumah kecuali Bapak menjauh dariku. Aku bahkan tidak memikirkan untuk kuliah lagi. Aku takut, semua akan menjadi semakin buruk. Aku berkaca ke hari kemarin. Mengapa aku selalu salah mengambil langkah? Irwan menjauh dariku entah karena apa, teman-temanku marah padaku hingga waktu yang lama, sekarang keluargaku menjauh dariku. Mengapa aku selalu tersesat?
            “Kamu tidak mau kuliah?” Tanya Bapak pada suatu sore di teras rumah. Aku menggeleng.
            “Kenapa? Apa kamu masih memikirkan mimpimu? Apa kamu masih igin kuliah di luar? Kamu tidak mau kuliah di sini saja?” Tanya Bapak lagi. Aku tidak menjawab.
            Aku mengangkat wajahku yang sedari tadi tertunduk menahan tangis.
            “Aku tidak mau kuliah. Aku tidak mau membuat semuanya menjadi semakin rumit”
            Bapak diam. Matanya menatap mataku lekat-lekat.
            “Kamu bilang, kamu tidak akan menyerah dalam menjalani hidup. Kamu harus semangat. Jangan menyalahkan keadaan, cari saja kebahagiaanmu. Kalau belum kau temukan, ciptakan kebahagiaanmu sendiri” Kata Bapak.
            Bapak benar juga, kataku dalam hati. Aku tersenyum, menghapus air mataku yang tadi sempat jatuh ke pipi.
***
            Setelah bergelut dengan masa sulit itu. Aku menjalani hidupku dengan apa yang hati kecilku inginkan. Aku memang belum kuliah –aku menundanya setahun-, aku tetap les bahas Korea dengan Pak Han dan menabung sedikit demi sedikit agar aku bisa mewujudkan mimpiku.
            “Marta, you are great” Kata Pak Han. Aku tersenyum.
            “Onje ganun hanguge kago shipoyo8” Kataku pelan.
            “cheong mallo? kok tchong maseyo! You can go there. Hwaiting Marta9!”
            “Hwaiting. Nomu kamsahamnida ajeosshi10
            “Ne Marta. Anieyo11” Jawab Pak Han.
***
            Hujan sudah reda. Angin bertiup lembut, membuat titik-titik air jatuh dari dedaunan yang hijau. Aku memandang ke langit. Pelangi tersenyum di atas sana. Sekarang aku tahu, hidup ini memang tidak selalu mudah. bukan batu besar yang membuatku jatuh, tapi kerikil yang membuatku tersandung. Hidupku ini adalah labirin. Banyak jalan yang harus ku pilih, banyak belokan yang harus aku lewati. Kalau tidak teliti aku akan tersesat dan salah jalan lagi seperti dulu. Tapi itu tidak akan terulang lagi.
Aku tidak akan menyesali apa yang sudah terjadi di belakang, karena aku yakin bahwa apa yang akan aku temukan nanti di perjalananku, itu harus membuatku menyimpul senyum karenanya. Sepeti pelangi, yang muncul setelah hujan yang kelam, dan memberi senyum pada dunia dengan warnannya yang indah. Aku menengok ke belakang. Memberi senyum pada masa lalu dan berdamai dengannya. Seperi kata orang bijak “Berdamailah dengan masa lalu, karena seseorang akan mengahadapi masa depannya bersama dengan masa lalunya sebagai guru yang paling berharga”.
***
1Selamat sore
2Jam berapa ini?
3Saya minta maaf pak.
4Selamat sore pak.
5Halo Marta
6Selamat ulang tahun
7Terimakasih pak
8Aku ingin pergi ke Korea suatu hari nanti
9Benarkah? Jangan khawatir, kamu bisa pergi ke sana. Semangat Marta!
10Semangat, terimakasih banyak pak
11Iya Marta, sama-sama