Labirin dan Pelangi
Oleh: Nia Wulandari
Langkah
kakiku membawaku ketempat yang tidak bisa kulupakan. Tempat dimana aku serasa
terseret kambali ke masa lalu, tempat yang selalu membuatku meneteskan air
mata. Apalagi dengan rintik hujan sore ini, suasana menjadi semakin kelabu. Aku
tidak menganggap masa lalu itu kelam. Hanya saja banyak hal yang membuatku
tersesat dan jatuh karenanya. Aku selalu saja berjalan ke arah yang salah pada
akhirnya. Tapi, bukan aku jika aku menyerah begitu saja dengan keadaan.
***
Jam 5
pagi. Aroma nasi goreng Ibu tercium dari dapur. Semua orang di rumah ini
seperti dibangunkan oleh aroma nasi goreng Ibu. Aku juga begitu. Kusibak
selimut yang menghangatkanku semalam, duduk sebentar mengumpulkan nyawaku yang
mungkin masih ada yang asyik di alam mimpi.
“Haaah….”
Aku menguap.
Aku
beranjak dari kasurku yang tidak lagi empuk, meninggalkan selimutku begitu saja
di atasnya.
“Marta,
sudah bangun?” Tanya Ibu.
“Iya
bu, aroma nasi goreng Ibu seperti alarm” Jawabku sedikit tertawa, Ibu juga ikut
tertawa.
Aku
bergegas masuk ke kamar mandi, supaya tidak perlu antri mandi nantinya. Itu
karena kamar mandi di rumah kami hanya ada satu. Belum sempat menutup pintu
kamar mandi, Mbak Kiran masuk tanpa permisi.
“Mbak,
Marta mau mandi, Mbak Kiran keluar dulu”
“Aduh,
perut Mbak sakit, kamu tunggu di luar dulu ya. Mbak nggak lama kok”
Aku
keluar dengan terpaksa dan kembali menunggu di depan pintu.
“Mbak,
sudah selesai belum?”
“Sudah
sih, tapi Mbak mau mandi sekalian”
Aku manghela
nafas panjang. Dasar Mbak Kiran, mentang-mentang kakak, dia suka berbuat
seenaknya. Karena terlalu lama dan membuang waktu kalau aku harus menunggu Mbak
Kiran, aku memutuskan untuk sarapan lebih dahulu. Kuraih piring dari rak piring
dan menyendok nasi goreng ibu yang mengepulkan asap karena baru saja matang.
“Marta, katanya
mau mandi? Kok nggak jadi?” Tanya Ibu.
“Kamar mandinya
dipakai Mbak Kiran bu. Asal nyelonong masuk tanpa permisi, katanya sebentar,
taunya mandi sekalian” Kataku panjang lebar.
Setelah menunggu
beberapa lam, akhirnya Mbak Kiran selesai juga. Jam 6.15 aku siap berangkat
sekolah. Seperti biasa, aku berangkat bersama kakak sulungku Mas Arif.
“Marta berangkat
sekolah ya bu, assalammualaikum”
“Wa’alaikumsalam,
hati-hati ya”
Motor
Mas Arif berjalan lambat. Padahal hari
ini jalanan tidak begitu macet. Jarum jam di tanganku terus bergerak, sampai
jam 6.45 aku belum juga sampai ke sekolah.
“Mas,
cepet dong, kurang limabelas menit lagi gerbang ditutup”
“Iya,
sabar, kamu kan tahu motor mas Arif belum diservis” Jawab Mas Arif. Aku masih
saja gelisah sambil terus melihat jarum di jam tanganku yang tidak berhenti
bergerak.
Kriiiiiiiiiiiing……..
Bel berbunyi tepat saat motor Mas Arif berhenti di depan gerbang sekolah.
“Tepat
waktu, Marta masuk dulu, takut gerbangnya keburu ditutup”
“Ya
sudah masuk sana. Jangan tidur di kelas” Kata Mas Arif sambil tertawa.
Jam
pertama di kelasku adalah pelajaran bahasa inggris. Aku selalu suka pelajaran
ini, karena aku ingin bahasa inggrisku lancar dan bisa keliling dunia seperti impianku
selama ini. Mr. Henry masuk membawa setumpuk kertas. Sepertinya hari ini ada
ulangan harian.
“Good
morning class. Close your book and prepare your pen. There is exam today” Benar
dugaanku. Hari ini ada ulangan. Mr. Henry membagikan lembar soal ulangan kepada
semua siswa.
Sekarang
jam istirahat, semua siswa berhamburan pergi ke kantin. Aku dan Vivi –teman
sebangkuku- juga pergi ka kantin. Tidak seperti biasanya, hari ini aku tidak
membawa bekal dari rumah.
Kriiiiiiiiiiing…….
Bel pulang berbunyi, siswa yang tidur di jam pelajaran terakhir seperti
mendapat angin sejuk begitu mendengar bel. Itu artinya, kepenatan mereka selama
beberapa jam di kelas akan segera berakhir. Aku mengemas barang-barangku,
bergegas keluar kelas, karena tidak mau terlambat les bahasa korea sore ini.
“Vivi,
Nina, Ria aku pulang dulu ya, ada les sore ini”
“Iya
ta” Sahut mereka bertiga bersamaan.
***
Jam 4
sore, aku sudah berada di halte. Menunggu bus yang biasa aku naiki untuk pergi
dan pulang les bahasa korea. Tempatnya memang sedikit jauh. Tapi karena sudah
terbiasa dan semangat yang besar, itu tidak menjadi masalah bagiku. Seperempat
jam aku menunggu, busnya dating juga.
“Annyeong
hashossoyo1” Kataku begitu sampai di tempat les.
“Annyeong
hashossoyo” Jawab semua orang yang ada di tempat itu.
Aku
langsung masuk ke kelasku. Ternyata lesnya sudah dimulai. Karena Pak Han sudah
ada di dalam.
“Myo
sshiyeyo?2” Tanya Pak Han, aku tahu dia tidak suka siswa yang
terlambat masuk ke kelasnya.
“Mianhamnida
ajeosshi3” Kataku sambil tersenyum. Pak Han membolehkanku duduk dan
mengikuti les hari ini. Aku senang sekali Ibu dan Bapak mengizinkanku untuk les
bahasa Korea, karena sebelumnya mereka tidak mengizinkanku les dengan alasan
akan mengganggu sekolahku. Tapi setelah aku membuktikan bahwa aku bias
menjalani keduanya dengan seimbang, akhirnya mereka melunak juga. Les berjalan
cepat, dua jam sudah terlewatkan. Aku keluar dari tempat les dan menunggu bus
di depan tempat les.
“Marta”
Panggil seseorang.
“Irwan,
kamu les di sini juga?” Tanyaku. Irwan adalah teman SMP ku. Jarang sekali aku
bertemu dia. Bahkan sejak lulus dari SMP baru sekali ini aku bertemu dengannya.
“Enggak
kok, aku baru pulang dari main futsal di sebelah tempat les kamu. Mau pulang ya
ta?” Aku mengangguk.
“Pulang
bareng aja. Daripada kamu nunggu bus lama”
“Boleh?”
Tanyaku sedikit canggung, karena sejak SMP aku memeng tidak terlalu akrab
dengannya. Dia menjawab dengan anggukan.
***
Selasa
malam, aku belum bisa memejamkan mataku. Sampai Bapak pulang dari kerja lembur,
aku belum juga tertidur. Aku menengok jam yang tergantung di dinding kamar. Jam
1 malam. Aku menutup mukaku dengan bantal mencoba memejamkan mata.
Jam 5
pagi, alarm di kamarku berdering memekakkan telinga. Ya ampun… aku baru saja
memejamkan mata.
***
Bus
berhenti tepat di depan sekolahku. Ya, aku naik bus pagi ini. Mas Arif tidak
bias mengantarku ke sekolah, padahal dia tidak ada kuliah pagi. Aku sampai di
sekolah 5 menit sebelum bel masuk berbunyi. Aku belum sempat sarapan dari
rumah, Ibu tidak memasak pagi ini, jadi aku pergi ke kantin sebentar. Vivid an
Nina sudah ada di kelas saat aku kembali dari kantin.
“Ria
mana?” Tanyaku. Mereka berdua hanya menggeleng.
“Kalian
kenapa? Sariawan?” Mereka diam lagi.
Aku
bingung dengan sikap semua orang pagi ini, Ibu tidak memasak seperti biasanya,
Mas Arif tidak mau mengantarku ke sekolah dan teman-temanku sangat aneh hari
ini.Bu Alin masuk ke kelasku sat bel masuk berbunyi. Bu Alin selalu saja member
catatan kepada kami, sampai-sampai aku bosan saat pelajaran. Seperti biasa, aku
selalu menulis tanggal di caatanku. Ya Tuhan, ini tanggal 12 Juni, ulang
tahunku. Pantas saja mereka aneh sekali pagi ini.
***
Pulang
sekolah, aku juga harus naik bus. Mas Arif benar-benar menyebalkan. Tidak mau
menjemputku.
Sore
hari, aku berangkat les sendirian. Beruntung aku tidak terlambat masuk kelas
Pak Han hari ini.
“Annyeong hashossoyo, ajeosshi4”
Sapaku pada Pak Han.
“Annyeong Marta5” Jawab
Pak Han.
Aku
suka les sore ini. Pak Han dan teman-teman lesku membawakan kue ulang tahun
untukku. Meskipun tidak terlalu besar, tapi itu sangat membuatku senang, karena
aku belum pernah mendapat kue ulang tahun sebelumnya.
“Saeng
il chukha hamnida6, Marta” Kata Pak Han.
“Kamsahamnida,
ajeosshi7” Kataku sambil tersenyum simpul.
***
Beberapa
hari setelah aku bertemu kembali dengan Irwan, aku selalu merasa nyaman berada
di sampingnya. Aku tidak pernah pulang naik bus, karena setiap aku pulang
sekolah, dia sudah ada di depan sekolahku.
“Ta,
akhir-akhir ini kamu menjauh ya dari kita?” Tanya Ria.
“Menjauh?
Menjauh bagaimana?” Tanyaku sedikit bingung.
“Kamu
jadi aneh ta, kamu jadi jarang sekali main keluar bareng kita. Kamu lebih suka
sama teman SMPmu itu ya daripada sama kita?” Nina ikut bicara.
“Kamu
lupa ta? Kita ini sahabat” Kata Vivi ikut komentar sebelum aku sempat menjawab
pertanyaan Nina.
“Kalian
bicara apa sih? Aku tidak menjauh dari kalian kok. Mungkin kalian saja yang
berlebihan. Aku masih sering main keluar bareng kalian. Aku juga masih duduk di
sampingmu kan Vi?” Aku balik bertanya.
“Iya,
tapi kamu tidak seperti sebelumnya. Kamu selalu pulang bareng kita tapi
sekarang, apa pernah?”
“Aku
bisa menjelaskan…” Belum selesai aku bicara, mereka bertiga sudah pergi.
Aku
tahu, mungkin memang akhir-akhir ini aku jarang pulang bersama mereka. Tapi itu
bukan mauku. Irwan selalu ada di depan sekolahku saat aku pulang sekolah. Aku
tidak mungkin menolak tawarannya. Aku bingung harus bagaimana.
***
Sudah
satu minggu Vivi, Nina dan Ria tidak berbicara denganku. Mereka hanya bicara
padaku seperlunya saja, dan itupun jarang sekali. Padahal kami berempat duduk
berdekatan. Aku mencoba bijak, mungkin mereka belum terbiasa dengan keadaan
yang sedang terjadi sekarang. Aku melangkah keluar kelas saat bel pulang
berbunyi. Seperti hari kemarin, Irwan sudah ada di depan sekolah.
“Ta,
mau kemana?” Tanyanya saat aku melangkah menjauh menuju tempat biasa aku
menunggu bus.
“Maaf
ya wan, hari ini aku mau pulang bareng sama teman-temanku”
Belum
ada 1 menit busku sudah datang. Aku masuk ke bus dan duduk di belakang kedua
temanku –Vivi dan Ria-.
“Kalian
masih marah?” Tanyaku. Mereka tidak menjawab.
“Kalian
tahu kan, kalau marah lebih dari 3 hari itu nggak baik” Mereka mengangguk.
Aku
menghela nafas. Ya sudahlah, mungkin memang bukan sekarang waktu yang tepat.
Aku menyandarkan punggungku di sandaran kursi bus. Mengeluarkan novel dan
membacanya –itu kebiasaanku saat aku bosan, kesepian atau sendirian-.
***
Aku
menyilang kalender di kamarku dengan spidol warna merah. Sudah 10 hari. 10 hari
tanpa sahabat-sahabatku. Rasanya kelam sekali. 10 hari juga aku tidak bertemu
dengan Irwan. Dia meninggalkanku begitu saja, dengan semua harapan yang masih
membayang di hari-hariku. Aku juga tidak tahu mengapa tiba-tiba Irwan manjauh,
tapi yang jelas, sekarang ini, dia membuat hari-hariku selalu gelisah. 10 hari
terakhir ini dia seperti hilang dari hidupku. Mungkin dia sedang sedang bersama
orang lain. Melupakanku. Padahal, aku selalu mencoba agar aku selalu ada saat
dia membutuhkanku.
Aku
bingung, aku tidak tahu harus membagi beban ini dengan siapa.
Sahabat-sahabatku, mereka belum mau memaafkanku. Mbak Kiran selalu sibuk dengan
tugas-tugas kuliahnya, Ibu, apalagi. Setiap hari Ibu harus bekerja agar dapur
tetap mengepul. Mengapa aku selalu salah di setiap aku mencoba melangkah menuju
hal yang baru?
***
Kelas
XII memang terasa begitu singkat, aku sudah tiba pada saat yang akan menentukan
masa depanku. Hari ini pengumuman kelulusan. Aku berangkat lebih awal ke
sekolah, aku tidak mau ketinggalan saat-saat membahagiakan kelulusanku nanti.
Saat
aku tiba di kelas, teman-temanku sudah ada di sana. Aku duduk di bangku yang
biasa aku duduki bersama Vivi.
“Kalian,
apa masih mau seperti ini? Kita sudah lama tidak berbagi cerita. Sudah lama
tidak tertawa bersama. Apa kalian tidak merindukan semua itu?” Tanyaku panjang
lebar kepada mereka bertiga.
“Aku
sudah memaafkan kesalahanmu kemrin ta. Maafkan aku, kemarin aku sudah
bertingkah seperti anak kecil” Jawab Nina, temanku yang paling polos dan bijak.
“Aku
dan Ria juga minta maaf. Sebenarnya, kami tidak marah, kami hanya kecewa. Kamu
jadi tidak bias membagi waktu setelah kamu bertemu dan dekat dengan Irwan”
“Kalian
memang sahabat yang terbaik. Aku sadar sekarang, kemarin, aku dibutakan dengan
Irwan. Aku lupa kalau aku punya kalian. Aku menyesal tidak mendengarkan saran
kalian. Ternyata selama ini Irwan itu hanya menganggapku remeh. Sekarang dia
meninggalkanku” Aku bercerita panjang lebar.
Beberapa
saat kemudian, wali kelasku datang membawa amplop. Aku tidak sabar untuk
membukanya. Saat namaku dipanggil, aku berjalan ke meja guru menerima amplop
itu dan tersenyum saat aku melihat tulisan yang ada di dalamnya. Aku lulus.
***
Semua
orang di rumah ikut senang dengan keleulusanku. Meskipun aku tidak menjadi
lulusan terbaik, tapi nilaiku semuanya di atas rata-rata. Ibu mambuat nasi
tumpeng untuk merayakan kelulusanku. Kami sekeluarga makan bersama malam itu.
“Bu, Marta
ingin sekali kuliah di luar negeri” Kataku di sela-sela makan malam bersama.
“Kamu
yakin ta?” Tanya Mbak Kiran sedikit terkejut. Aku mengangguk.
“Kamu
jangan ketinggian kalau bermimpi. Kamu harus tahu diri. Kamu tahu kan bagaimana
keadaaan kita sekarang?” Tanya Mas Arif.
“Iya
ta. Keluarga kita ini pas-pasan. Kita ini Cuma kalangan menengah. Kamu kuliah
di sini saja sudah sangat bagus” Kata Mbak Kiran lagi.
“Tapi
Mbak? Marta sudah menginginkan itu sejak lama. Marta ingin…”
“Mbak
tahu. Tapi kamu harus tahu diri, keadaannya tidak memungkinkan ta” Mbak Kiran
memotong bicaraku.
Aku
diam, semua yang ada juga ikut diam. Hening. Aku melanjutkan menyendok nasi dan
memasukkannya ke mulutku. Mbak Kiran dan Mas Arif bergegas dari tempat kami
berkumpul, Ibu juga. Hanya Bapak yang masih berada di depanku. Aku menatpnya.
Sebutir air mata turun dari keopak mataku. Diikuti oleh butiran-butiran yang
lebih banhak, sampai membasahi pipiku. Bapak hanya diam, menghapus air mataku
dengan tangannya.
“Pak,
apa Marta salah bicara tadi?” Tanyaku masih sambil menangis.
“Tidak.
Bapak tahu, keliling dunia adalah hal yang kamu mimpikan sejak lama. Bapak juga
tahu, semua orang boleh bermimpi, boleh punya harapan. Bahkan harus mempunyai
harapan. Karena tanpa harapan, hidup ini bukanlah hidup” Bapak menasihatiku
panjang lebar.
Bapak
memang selalu bijak. Bapak bahkan tidak memarahiku sama sekali.
***
Aku
merasa asing di rumah. Sejak aku mengungkapkan keinginanku untuk kuliah di luar
negeri, seisi rumah kecuali Bapak menjauh dariku. Aku bahkan tidak memikirkan
untuk kuliah lagi. Aku takut, semua akan menjadi semakin buruk. Aku berkaca ke
hari kemarin. Mengapa aku selalu salah mengambil langkah? Irwan menjauh dariku
entah karena apa, teman-temanku marah padaku hingga waktu yang lama, sekarang
keluargaku menjauh dariku. Mengapa aku selalu tersesat?
“Kamu
tidak mau kuliah?” Tanya Bapak pada suatu sore di teras rumah. Aku menggeleng.
“Kenapa?
Apa kamu masih memikirkan mimpimu? Apa kamu masih igin kuliah di luar? Kamu
tidak mau kuliah di sini saja?” Tanya Bapak lagi. Aku tidak menjawab.
Aku
mengangkat wajahku yang sedari tadi tertunduk menahan tangis.
“Aku
tidak mau kuliah. Aku tidak mau membuat semuanya menjadi semakin rumit”
Bapak
diam. Matanya menatap mataku lekat-lekat.
“Kamu
bilang, kamu tidak akan menyerah dalam menjalani hidup. Kamu harus semangat.
Jangan menyalahkan keadaan, cari saja kebahagiaanmu. Kalau belum kau temukan,
ciptakan kebahagiaanmu sendiri” Kata Bapak.
Bapak
benar juga, kataku dalam hati. Aku tersenyum, menghapus air mataku yang tadi
sempat jatuh ke pipi.
***
Setelah
bergelut dengan masa sulit itu. Aku menjalani hidupku dengan apa yang hati
kecilku inginkan. Aku memang belum kuliah –aku menundanya setahun-, aku tetap
les bahas Korea dengan Pak Han dan menabung sedikit demi sedikit agar aku bisa
mewujudkan mimpiku.
“Marta,
you are great” Kata Pak Han. Aku tersenyum.
“Onje
ganun hanguge kago shipoyo8” Kataku pelan.
“cheong
mallo? kok tchong maseyo! You can go there. Hwaiting Marta9!”
“Hwaiting.
Nomu kamsahamnida ajeosshi10”
“Ne
Marta. Anieyo11” Jawab Pak Han.
***
Hujan
sudah reda. Angin bertiup lembut, membuat titik-titik air jatuh dari dedaunan
yang hijau. Aku memandang ke langit. Pelangi tersenyum di atas sana. Sekarang
aku tahu, hidup ini memang tidak selalu mudah. bukan batu besar yang membuatku
jatuh, tapi kerikil yang membuatku tersandung. Hidupku ini adalah labirin.
Banyak jalan yang harus ku pilih, banyak belokan yang harus aku lewati. Kalau
tidak teliti aku akan tersesat dan salah jalan lagi seperti dulu. Tapi itu
tidak akan terulang lagi.
Aku tidak akan menyesali
apa yang sudah terjadi di belakang, karena aku yakin bahwa apa yang akan aku
temukan nanti di perjalananku, itu harus membuatku menyimpul senyum karenanya.
Sepeti pelangi, yang muncul setelah hujan yang kelam, dan memberi senyum pada
dunia dengan warnannya yang indah. Aku menengok ke belakang. Memberi senyum
pada masa lalu dan berdamai dengannya. Seperi kata orang bijak “Berdamailah dengan masa lalu, karena
seseorang akan mengahadapi masa depannya bersama dengan masa lalunya sebagai
guru yang paling berharga”.
***
1Selamat
sore
2Jam
berapa ini?
3Saya
minta maaf pak.
4Selamat
sore pak.
5Halo
Marta
6Selamat
ulang tahun
7Terimakasih
pak
8Aku
ingin pergi ke Korea suatu hari nanti
9Benarkah?
Jangan khawatir, kamu bisa pergi ke sana. Semangat Marta!
10Semangat,
terimakasih banyak pak
11Iya
Marta, sama-sama